Senin, 13 April 2015

Perkembangan Pendidikan Bidan Di Indonesia

Perkembangan Pendidikan Bidan di Indonesia
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring untuk menjawab kebutuhan/tuntutan masyarakat akan pelayanan kebidanan.
Yang dimaksud dalam pendidikan ini adalah, pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda.
Pada tahun 1851
            seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik yang disebabkan karena adanya larangan ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
Pada tahunan 1902
            Pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di rumah sakit militer di batavia dan pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita indo dibuka di Makasar.
            Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma.
            Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911/1912
            Dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia.
            Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria.
            Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun.
            Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.
Tahun 1911/1912
            Dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia.
            Calon yang diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria.
            Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun.
            Untuk perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.


Pada tahun 1935-1938
            DI Pemerintah Kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan Mulo (Setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain Jakarta di RSB Budi Kemuliaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang.
            DI tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan.
            Bidan dengan dasar pendidikannya Mulo dan pendidikan Kebidanan selama tiga tahun tersebut Bidan Kelas Satu (Vreodrouweerste Klas) dan bidan dari lulusan perawat (mantri) di sebut Bidan Kelas Dua (Vreodrouw tweede klas).
            Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan.

Pada zaman penjajahan Jepang
Pemerintah mendirikan sekolah perawat atau sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki persyaratan yang sama dengan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
Pada tahun 1950-1953
            Dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun. Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenjang Kesehatan E atau Pembantu Bidan.
            Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar.
            Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953
            dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta, lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu.
            Pada tahun 1960 KTB dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai bidan terutama menjadi bidan di BKIA.
Tahun 1967
            KTB ditutup (discountinued). Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung.
            Pada awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun.
            Pada awal tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP).
            Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.

Pada tahun 1970
            dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata di seluruh provinsi.
Pada tahun 1974
            mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Kesehatan melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana.
            Sekolah bidan ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal.
            Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil
Pada tahun 1975 sampai 1984
            institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup secara wajar.
Tahun 1981
            untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan, dibuka pendidikan Diploma I Kesehatan Ibu dan Anak. Pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan yang disebut (PPB) yang menerima lulusan SPR dan SPK. Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
Tahun 1989
            dibuka crash program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan.
            Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun dan lulusannya ditempatkan di desa-desa. Untuk itu pemerintah menempatkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri sipil (PNS Golongan II).
            Mulai tahun 1996 status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) dengan kontrak selama tiga tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang 2 x 3 tahun lagi.
Penempatan BDD ini menyebabkan orientasi sebagai-baiknya tidak hanya kemampuan klinik, sebagai bidan tapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak.
            Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik cukup besar.
            Diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan.
            Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bidan profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktek klinik kebidanan sangat kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki sebagai seorang bidan juga kurang.
Pada tahun 1993
            dibuka Program Pendidikan Bidan Program B yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper) dengan lama pendidikan satu tahun.
Tujuan program ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada Program Pendidikan Bidan A. 
            Berdasarkan hasil penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu hanya setahun.
            Pendidikan ini hanya berlangsung selama dua angkatan (1995 dan 1996) kemudian ditutup.
            Pada tahun 1993 juga dibuka pendidikan bidan Program C (PPB C), yang menerima masukan dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 Propinsi yaitu : Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan. Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya.
            Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam semster. Selain program pendidikan bidan di atas.
Sejak tahun 1994-1995
            Pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (Distance learning) di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
            Kebijakan ini dilaksanakan untuk pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994 Diklat Jarak Jauh Bidan (DJJ) adalah DJJ Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB.
DJJ Bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah.
            Pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di Propinsi.
            DJJ Tahap I (1995-1996) dilaksanakan di 15 Propinsi, pada tahap II (1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi dan pada tahap III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi.
            Secara kumulatif pada tahap I-III telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999) DJJ dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah tiap propinsinya adalah 60 orang, kecuali Propinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang dan Propinsi Jambi 50 orang. Dari 1490 peserta belum diketahui berapa jumlah yang lulus karena laporan belum masuk.
Selain pelatihan DJJ tersebut pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawat daruratan maternal dan neonatal (LSS = Life Saving Skill) dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul.
            Sedang pelaksanaannya adalah Rumah sakit provinsi/kabupaten. Penyelenggara ini dinilai tidak efektif ditinjau dari proses.
            Pada tahun 1996, IBI bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwive (ANCM) dan rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS, yang kemudian menjadi tim pelatih LSS inti di PPIBI.
            Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek swasta.
            Pelatihan praktek dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih bidan praktek swasta secara swadaya, begitu juga guru/dosen dari D3 Kebidanan. 1995-1998, IBI bekerja sama langsung dengan Mother Care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit, bidan Puskesmas dan bidan di desa di Propinsi Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2000
            telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal health (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten.
            Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan tetapi juga guru, dosen-dosen dari Akademi Kebidanan.
            Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, utnuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan Lokakarya organisasi. Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi (Organization Development = OD) dilaksanakan setiap tahun, mulai tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEF.
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DILUAR NEGERI
Pendidikan bidan di Afrika Selatan
Pada tahun 1923,
            sertifikat standar enam telah dapat diterima, kemudian muncul standart tujuh pada tahun 1929, kemudian standart delapan pada tahun 1949 dan pada tahun 1960, standart sepuluh merupakan standart pendidikan minimal yang diwajibkan.
            Silabus dan lamanya pelatihan. Pelatihan kebidanan ditetapkan oleh empat Dewan Medis (Neogara bagain Cape, natal, transual dan orange free) setelah dimulai di Cape pada tahun 1892, dan siswa harus menolong minimal 12 persalinan dan merawat 12 wanita pada masa puerperium.
            Pelatihan dilakukan dilapangan dan diruang perawatan rumah sakit kalau tersedia/ada. Sebagian besar pusat pelatihan merasa bahwa masa pelatihan terlalu pendek, dan pada tahun 1917, Asosiasi Perawat terlatih Afrika Selatan juga mengungkapkan ketidakpuasannya dengan kurangnya fasilitas.
            Sekolah pelatihan terlalu sedikit, dan kurangnya bed yang tersedia bagi pasien kebidanan. Asosiasi ini merekomendasikan : ketentuan rumah sakit kebidanan yang disubsidi oleh pemerintah yang lebih banyak untuk digunakan sebagai sekolah pelatihan; dimana pelatihan harus diperpenjang sampai minimal selama 6 bulan; dan dimana ketentuan tersebut harus meliputi pelatihan teorituis dan praktek di lapangan dan di ruang perawatan.
Pendidikan bidan di Australia
Kebidanan di Australia telah mengalami perkembangan yang mengalami pesat sejak 10 tahun terakhir.
            Dasar pendidikan telah berubah dari traditional hospital base programme menjadi tertiary course of studies menyesuaikan kebutuhan pel;ayanan dari masyarakat.
            Tidak semua institusi pendidikan kebidanan di Australi telah melaksanakan perubahan ini, beberapa masih menggunakan proram pendidikan yang berorientasi pada rumah sakit.
            Kurikulum pendidikan disusun oleh staf akademik berdasarkan pada keahlian dan pengalaman mereka di lapangan kebidanan.
            Kekurangan yang dapat dilihat dari pendidikan kebidanan di Australia hampir sama dengan pelaksanaan pendidikan bidan di Indonesia.
            Belum ada persamaan persepsi mengenai pengimplementasian kurikulum pada masing-masing institusi, sehingga lulusan bidan mempunyai kompetensi klinik yang berbeda tergantung pada institusi pendidikannya.
            Hal ini ditambah dengan kurangnya kebijaksanaan formal dan tidak adanya standar nasional menurut National Review of Nurse Education 1994, tidak ada direct entry.
Pada tahun 1913 sebanyak 30% persalinan ditolong oleh bidan. Meskipun ada peningkatan jumlah dokter yang menangani persalinan antara tahun 1900 sampai 1940, tidak ada penurunan yang berarti pada angka kematian ibu dan bidanlah yang selalu disalahkan akan hal itu. Kenyataannya wanita jelas menengah ke atas yang ditangani oleh dokter dalam persalinannya mempunyai resiko infeksi yang lebih besar daripada wanita miskin yang ditangani oleh Bidan.
            Bidan sangat penting di pelayanan kesehatan sejak Perang Dunia II dan proporsi yang besar di rumah sakit sebagai pusat pelayanan kesehatan utnuk daerah sekitar rumah sakit tersebut.
            Peningkatan rumah sakit dan persatuan perawat dan peningkatan ahli kebidanan yang lebih menekankan pada teknologi menyebabkan mundurnya kebidanan.
            Tapi situasi itu berakhir pada saat Amerika Utara menilai kepemimpinan perawat dan kepemimpinan bidan yang memutuskan bahwa bidan berhak mendapat penghargaan pertama dan penghargaan kedua diberikan kepada keperawatan. Penghargaan itu sangat penting untuk peningkatan profesi kebidanan.