Minggu, 07 Juni 2015

Resume Asuhan Kebidanan Kehamilan



RESUME ASUHAN KEBIDANAN KEHAMILAN

   A.  Preeklamsi Ringan & Berat

1.      Pre-eklampsia ringan

Tanda dan gejala :
  1. Kenaikan tekanan darah sistole 140 mmHg sampai kurang dari 160 mmHg; diastole 90 mmHg sampai kurang dari 110 mmHg
  2. Proteinuria : didapatkannya protein di dalam pemeriksaan urin (air seni)
  3. Edema (penimbunan cairan) pada betis, perut, punggung, wajah atau tangan 

Tatalaksana preeklampsia ringan dapat secara Pengelolaan secara rawat jalan (ambulatoir)
·              Tidak mutlak harus tirah baring, dianjurkan perawatan sesuai keinginannya
·              Makanan dan nutrisi seperti biasa, tidak perlu diet khusus
·              Vitamin
·              Tidak perlu pengurangan konsumsi garam
·              Tidak perlu pemberian antihipertensi
·              Kunjungan ke rumah sakit setiap minggu

Pengelolaan secara rawat inap (hospitalisasi) :
  • Pre eklampsia ringan dirawat inap apabila mengalami hipertensi yang menetap selama lebih dari 2 minggu, proteinuria yang menetap selama lebih dari 2 minggu, hasil tes laboratorium yang abnormal, adanya gejala atau tanda 1 atau lebih pre eklampsia berat
  • Pemeriksaan dan monitoring teratur pada ibu : tekanan darah, penimbangan berat badan, dan pengamatan gejala pre-eklampsia berat dan eklampsia seperti nyeri kepala hebat di depan atau belakang kepala, gangguan penglihatan, nyeri perut bagian kanan atas, nyeri ulu hati
  • Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa evaluasi pertumbuhan dan perkembangan janin di dalam rahim


Tatalaksana
  • Pada dasarnya sama dengan terapi rawat jalan
  • Bila terdapat perbaikan gejala dan tanda-tanda dari pre-eklampsia dan umur kehamilan 37 minggu atau kurang, ibu masih perlu diobservasi selama 2-3 hari lalu boleh dipulangkan

1.      Pre-eklampsia Berat

Pre eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Tanda dan gejala pre-eklampsia berat :
1.    Tekanan darah sistolik ? 160 mmHg
2.    Tekanan darah diastolik ? 110 mmHg
3.    Peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus (kuning)
4.    Trombosit < 100.000/mm3
5.    Oliguria (jumlah air seni < 400 ml / 24 jam) 6. Proteinuria (protein dalam air seni > 3 g / L)
6.    Nyeri ulu hati
7.    Gangguan penglihatan atau nyeri kepala bagian depan yang berat
8.    Perdarahan di retina (bagian mata)
9.    Edema (penimbunan cairan) pada paru
10.Koma

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre-eklampsia berat selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi :
  1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri dan ditambah pemberian obat-obatan. Perawatan aktif dilakukan apabila usia kehamilan 37 minggu atau lebih, adanya ancaman terjadinya impending eklampsia, kegagalan terapi dengan obat-obatan, adanya tanda kegagalan pertumbuhan janin di dalam rahim, adanya “HELLP syndrome” (Haemolysis, Elevated Liver enzymes, and Low Platelet).
  2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pemberian obat-obatan.Perawatan konservatif dilakukan apabila kehamilan kurang dari 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia serta keadaan janin baik. Perawatan konservatif pada pasien pre eklampsia berat yaitu :
·         Segera masuk rumah sakit
·         Tirah baring
·         Infus
·         Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
·         Pemberian obat anti kejang : magnesium sulfat
·         Anti hipertensi, diuretikum diberikan sesuai dengan gejala yang dialami
·         Penderita dipulangkan apabila penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre-eklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu)

   B.   Eklampsia
1.        Definisi
Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila di jumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan ketiga) atau biasa lebih awal terjadi.
Pre-eklampsia adalah salah satu ka­sus gangguan kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Ke­lainan ini terjadi selama masa kelamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pa­da ibu dan bayi. Kasus pre-eklampsia dan eklampsia terjadi pada 6-8% wanita hamil di Indonesia. Hipertensi (tekanan darah tinggi) di dalam kehamilan terbagi atas pre-eklampsia ringan, pre-eklampsia berat, eklampsia, serta superimposed hipertensi(ibu hamil yang sebelum kehamilannya sudah memiliki hipertensi dan hipertensi berlanjut selama kehamilan). Tanda dan gejala yang terjadi serta tatalaksana yang dilakukan masing-masing penyakit di atas tidak sama.
2.        Pencegahan
Usaha pencegahan preklampsia dan eklampsia sudah lama dilakukan. Diantaranya dengan diet rendah garam dan kaya vitamin C. Selain itu, toxoperal (vitamin E,) beta caroten, minyak ikan (eicosapen tanoic acid), zink (seng), magnesium, diuretik, anti hipertensi, aspirin dosis rendah, dan kalium diyakini mampu mencegah terjadinya preklampsia dan eklampsia. Sayangnya upaya itu belum mewujudkan hasil yang menggembirakan. Belakangan juga diteliti manfaat penggunaan anti-oksidan seperti N. Acetyl Cystein yang diberikan bersama dengan vitamin A, B6, B12, C, E, dan berbagai mineral lainnya. Nampaknya, upaya itu dapat menurunkan angka kejadian pre-eklampsia pada kasus risiko tinggi.

   3.      Penanganan
Tujuan pengobatan :
1.      Untuk menghentikan dan mencegah kejang
2.      Mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi
3.      Sebagai penunjang untuk mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal mungkin
4.      Mengakhiri kehamilan dengan trauma ibu seminimal mungkin
Pengobatan Konservatif
Sama seperti pengobatan pre eklampsia berat kecuali bila timbul kejang-kejang lagi maka dapat diberikan obat anti kejang (MgSO4).
Pengobatan Obstetrik
1.      Sikap dasar : Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri dengan atau tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin
2.      Bilamana diakhiri, maka kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan) kondisi dan metabolisme ibu
Setelah persalinan, dilakukan pemantauan ketat untuk melihat tanda-tanda terjadinya eklampsia. 25% kasus eklampsia terjadi setelah persalinan, biasanya dalam waktu 2 – 4 hari pertama setelah persalinan. Tekanan darah biasanya tetap tinggi selama 6 – 8 minggu. Jika lebih dari 8 minggu tekanan darahnya tetap tinggi, kemungkinan penyebabnya tidak berhubungan dengan pre-eklampsia.



    C.  Ruptur Uteri
1.      Definisi
Ruptura uteri digolongkan menjadi ruptura uteri lengkap dan ruptura uteri tidak lengkap, tergantung apakah laserasi tersebut berhubungan dengan kavum peritonei (lengkap) atau dipisahkan dari kavum tersebut oleh peritoneum viseralis uterus atau oleh ligamentum kardinale (tidak lengkap). Ruptura uteri yang tidak lengkap bisa berubah menjadi lengkap.
 Harus juga dibedakan antara ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea dan dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea. Ruptura paling tidak berarti pelepasan atau pemisahan luka insisi lama di sepanjang uterus dengan robeknya selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan kavum peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami ekstrusi ke dalam kavum peritoneum. Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan yang masif dari tepi jaringan parut atau dari perluasan robekan yang mencapai bagian uterus yang tadinya tidak apa-apa. Sebaliknya, pada dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea, selaput ketuban tidak pecah dan janin tidak mengalami ekstruksi ke dalam kavum peritoneum. Ciri khas dari dehisensi adalah pemisahan tersebut tidak mengenai seluruh jaringan parut yang sudah ada sebelumnya pada uterus, sehingga peritoneum yang melapisi defek masih utuh dan perdarahan minimal atau tidak ada.
2.      Etiologi
a.     Ruptur jaringan parut uterus
1.      Jaringan parut seksio sesarea ( merupakan penyebab terbanyak)
2.      Riwayat kuretase atau perforasi uterus
3.      Trauma abdomen Persalinan yang terhambat akibat disproporsi cephalopelvik
3.       Stimulasi yang berlebihan pada uterus pada induksi persalinan
1.      Pematangan serviks ( Misoprostol atau Dinoprostone)
2.      Penggunaan kokain pada masa kehamilan
4.       Faktor-faktor lain
1.      Peregangan uterus yang berlebihan
2.      Neoplasia Trofoblastik Gestasional
3.       Pelepasan plasenta yang sulit secara manual.
5.      Penemuan yang tidak berhubungan dengan ruptura uteri
1.      Infus oksitosin dengan dosis berlebihan
2.       Kontraksi 5x atau lebih dalam 10 menit
3.      Kontraksi tetanik selama lebih dari 90 detik
Ruptur Spontan
Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus yang utuh (tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang, dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangan. Pada suatu regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium sehingga  terjadilah ruptura uteri.
Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptura uteri ialah multiparitas; di sini di tengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan robekan. Banyak juga dilaporkan bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun-dukun memudahkan terjadinya ruptura uteri. Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun itu biasanya melakukan tekanan keras ke bawah terus menerus pada fundus uteri; hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah uterus yang regang dan mengakibatkan terjadinya ruptura uteri. Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan ruptura uteri.
               Ruptura Uteri Traumatik
Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma   dari luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang dinamakan ruptura uteri violenta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptura uteri. Hal ini misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubungan dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut di atas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptura uteri. Gejala-gejala ruptura uteri violenta tidak berbeda dengan ruptura uteri spontan.
Ruptura Jaringan Parut Seksio Sesarea
Pada wanita yang memiliki riwayat seksio sesarea, ruptura dapat terjadi di tempat parut luka lama. Banyak studi melaporkan bahwa wanita yang memiliki riwayat seksio sesarea satu kali dengan insisi low-horizontal, risiko terjadinya ruptura adalah 0.5 sampai 1.%. Wanita dengan riwayat seksio sesarea lebih dari satu  kali memiliki risiko ruptura yang sedikit lebih besar.
Diantara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang telah terjadi sesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Ruptura uteri pada bekas parut seksio sesaria klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai, sedang peristiwa tersebut pada parut bekas seksio sesaria profunda umumnya terjadi pada waktu persalinan. Ruptura uteri pasca seksio sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan yang mendadak, melainkan lambat laun jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptura uteri.
sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan    tempat bekas luka. Jika arteri besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok; janin dalam uterus meninggal pula.
Williams (1921) beranggapan bahwa uterus sembuh melalu regenerasi serat-serat otot dan bukan oleh pembentukan jaringan parut. Schwarz dkk. (1938) menyimpulkan bahwa penyembuhan terjadi terutama melalui proliferasi fibroblas.               
Mekanisme Terjadinya Ruptura  Uteri
Mekanisme utama dari ruptura uteri disebabkan oleh peregangan berlebihan dari uterus yang kadang disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada ruptura uteri. Bila disproporsi yang terjadi sedemikian besar maka uterus menjadi sangat teregang dan kemudian dapat menyebabkan ruptura. Walaupun jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin lokal uterus pada persalinan yang berkeapanjangan. Yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila dijumpai 2-3 jari di atas simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri iminens (RUI).
Rumus mekanisme terjadinya Ruptura Uteri:
          R = H + O             dimana R = Ruptura
                                                            H = His kuat (tenaga)
                                                            O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan serviks menjadi lembek (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat), maka SBR yang pasif akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis- lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi- Ruptura Uteri.
Gejala Ruptura Uteri
Gejala Ruptura Uteri Iminens
1.      Partus telah lama berlangsung
2.      Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri di perut.
3.      Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
4.      Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
5.      Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
6.      His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
7.      Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras, terutama sebelah kiri atau keduanya.
8.      Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
9.      Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan  melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis dan teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh, untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa, misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.
10.  Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan    teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi ada hematuri.
11.  Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).
12.  Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda obstruksi seperti edema porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
Bila ruptura uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan  terjadilah ruptura uteri.
Penemuan Klinis Ruptura Uteri
a.     Anamnesis dan Inspeksi
1.        Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,    menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
2.        Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
3.        Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
4.        Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur .
5.        Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.
6.        Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan di bahu.
7.        Kontraksi uterus biasanya hilang.
8.        Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus.
b.     Palpasi
1.        Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan
2.        Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.
3.        Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut maka  teraba bagian-bagian janin langsung di bawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
4.        Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek
c.         Auskultasi .
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah ruptura, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut.
d.      Pemeriksaan Dalam.
1.      Kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah, dengan mudah dapat didorong ke atas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak.
2.      Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum, dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang di dalam kita temukan dengan jari luar, maka terasa seperti dipisahkan oleh bagian yang tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba fundus uteri. E. Kateterisasi.
Penatalaksanaan
Pada kasus ruptura uteri harus dilakukan tindakan segera. Jiwa wanita yang mengalami ruptura uteri paling sering tergantung dari kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi keadaan hipovolemia dan mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini, keterlambatan dalam tindakan pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah harus ditransfusi dengan cepat dan seksio sesarea atau laparatomi segera dimulai. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu sebelum jadwal persalinan. Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea sebelum jadwal persalinan dimulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu.
Apabila sudah terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap diagnosis ruptura uteri. Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan dalam uterus apakah ada ruptura uteri. Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam usaha untuk mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang sangat istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata seperti pada ruptura parut bekas seksio sesaria, dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Pengobatan untuk memerangi syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan penderita dengan ruptura uteri. 
Pada kasus-kasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat membantu mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan kontraksi miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi perdarahan.
Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat, ketersediaan darah dalam jumlah besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan ruptura uteri yang hamil.

D.    IUFD
1.        Definisi
Intra uterine fetal deadth (IUFD) atau kematian janin dalam rahim adalah kematian janin dalam kehamilan sebelum terjadi proses persalinan pada usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram. (Moechtar R. Pedarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279).
IUFD adalah kematian intrauterin sebelum seluruh produksi konsepsi manusia dikeluarkan, ini tidak diakibatkan oleh aborsi terapeutik atau kematian janin juga disebut kematian intrauterin dan mengakibatkan kelahiran mati. (Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP)
IUFD adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan baik pada kehamilan yang besar dari 20 minggu atau kurang dari 20 minggu. (Rustam Muchtar,1998).

     IUFD adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari rahim ibunya tanpa memandang tuanya
kehamilan. (Sarwono, 2005)


2.         Etiologi
       Adapun penyebab IUFD:
1.      perdarahan antepartum seperti plasenta previa dan solusio plasenta
2.      pre eklamsi dan eklamsi
3.      penyakit kelainan darah
4.      penyakit infeksi menular
5.      penyakit saluran kencing
6.      penyakit endokrin sperti DM dan hipertiroid
7.      malnutrisi
a.       Faktor predisposisi IUFD
a)      Factor ibu (High Risk Mothers)
1.      status social ekonomi yang rendah
2.      tingkat pendidikan ibu yang rendah
3.      umur ibu yang melebihi 30 tahun atau kurang dari 20 tahun
4.      paritas pertama atau paritas kelima atau lebih
5.       tinggi dan BB ibu tidak proporsional
6.      kehamilan di luar perkawinan
7.      kehamilan tanpa pengawasan antenatal
8.      ganggguan gizi dan anemia dalam kehamilan
9.      ibu dengan riwayat kehamilan / persalinan sebelumnya tidak baik seperti bayi lahir mati
10.  riwayat inkompatibilitas darah janin dan ibu
b)      factor Bayi (High Risk Infants)
1.  bayi dengan infeksi antepartum dan kelainan congenital
2.  bayi dengan diagnosa IUGR (Intra Uterine Growth Retardation)
3.  bayi dalam keluarga yang mempunyai problema social
c)        factor yang berhubungan dengan kehamilan
1.    abrupsio plasenta
2.    plasenta previa
3.    preeklamsi / eklamsi
4.    polihidramnion
5.    inkompatibilitas golongan darah
6.    kehamilan lama
7.    kehamilan ganda
8.    infeksi
9.    diabetes
10.    genitourinaria
4.        Diagnosis
1.      Anamnesa/keluhan
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin
b. Perut tidak bertambah besar
2.      Inspeksi
Tidak tampak gerakan janin
3.       Palpasi
·         TFU lebih rendah dari tuanya kehamilan
·         Tidak teraba gerakan janin
·         Krepitasi pada tulang kepala janin
4.      Auskultasi
DJJ (-)
5.      Reaksi kehamilan
test
kehamilan (-)
6.      Rontgen foto abdomen
a.       Adanya akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah janin
b.      Tanda nojosk     : angulasi yang tajam pada tulang belakang janin
c.       Tanda gernard     : hiperekstensi kepala janin
d.      Tanda spalding     : overlapping sutura



7.      USG   
·         Gerak anak tidak ada
·         Denyut jantung anak tidak ada
·         Tampak bekuan darah pada ruang jantung janin
8.      Laboratorium
a.       Reaksi biologis negative setelah 10 hari janin mati
b.      Hipofibrinogenemia setelah 4-5 minggu janin mati
     Kalau janin mati pada kehamilan yang telah lanjut terjadilah perubahan-perubahan sebagai berikut :
a.    Rigor mortis
Berlangsung 21/2  jam setelah mati kemudian lemas lagi.
b.    Maserasi Tingkat I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih. Tapi kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah mati.
c.       Maserasi Tingkat II
Lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat,  jam setelah anak mati
d.      Maserasi Tingkat III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas, hubungan antar tulang-tulang sangat longgar. Edema di bawah kulit.
5.        Tanda dan gejala
a.       Terhentinya pertumbuhan uterus, atau penurunan TFU
b.      Terhentinya pergerakan janin
c.       Terhentinya denyut jantung janin
d.      Penurunan atau terhentinya peningkatan berat badan ibu.
e.       Perut tidak membesar tapi mengecil dan terasa dingin
f.       Terhentinya perubahan payudara
6.        Komplikasi
a.       Trauma emosional yg cukup berat terjadi bila wktu antara kematia janin & persalinan cukup lama.
b.      Dapat terjadi infeksi bila ketuban pecah.
c.        Dapat terjadi koagulasi bila kematian janin berlangsung lebih dari 2minggu.
d.      Kematian janin dalam kandungan 3-4 minggu, biasanya tidak memvbahayakan ibu. Setelah lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipofibrinogenemia) akan lebih besar. Kematian janin akan menyebabkan desidua plasenta menjadi rusak menghasilkan tromboplastin masuk kedalam peredaran darah ibu, pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit terjadilah pembekuan darah yang meluas menjadi Disseminated intravascular coagulation hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg %).
Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700 mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik postpartum. Partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati.
7.        Penanganan
1.    Terapi
a.       Selama menunggu diagnosa pasti, ibu akan mengalami syok dan ketakutan memikirkan bahwa bayinya telah meninggal. Pada tahap ini bidan berperan sebagai motivator untuk meningkatkan kesiapan mental ibu dalam menerima segala kemungkinan yang ada.
b.      Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan melalui hasil USG dan rongen foto abdomen, maka bidan seharusnya melakukan rujukan.
c.       Menunggu persalinan spontan biasanya aman, tetapi penelitian oleh Radestad et al (1996) memperlihatkan bahwa dianjurkan untuk menginduksi sesegera mungkin setelah diagnosis kematian in utero. Mereka menemukan hubungan kuat antara menunggu lebih dari 24 jam sebelum permulaan persalinan dengan gejala kecemasan. Maka sering dilakukan terminasi kehamilan.



     E.   Solusio Plasenta
1.      Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir. Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir.
 Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram .

2.      Klasifikasi
a.       Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta a. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
b.       Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
c.       Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan 
a)      Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
b)      Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma retroplacenter
c)      Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion.
d)     Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:
1.      Ringan : perdarahan <100-200 cc,uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan, janin hidup,pelepasan plasenta <1/6 bagian permukaan,kadar fibrinogen plasma >150 mg%.
2.      Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%..
3.      Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
3.      Etiologi
Penyebab primer belum diketahui pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi
                  1.      Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan.(7,8)
2.        Faktor traumaDekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
·         Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan
·         Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
3.     Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Beberapa penelitian menerangkan bahwa  makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium
4.             Faktor usia ibu
Makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.
5.      Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.
6.       Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin yang bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif.
7.      Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat
diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya
8.       Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta
9.     Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-lain.
4.  Gambaran Klinis
1.      Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung.
2.      Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta terlepas lebih dari 1/4  bagian, tetapi belum 2/3 luas permukaan Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Jika janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi,walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat


3.      Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari 2/3 permukaannnya. Terjadi sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal. Uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal
5.   Komplikasi
a.       Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III . Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat (1,10,17)
b.      Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. (1,2)
c.       Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia. (2)
d.      Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire.


Komplikasi yang dapat terjadi pada janin:  
Fetal distress, Gangguan pertumbuhan/perkembangan, Hipoksia, anemia, Kematian.
      6.    Diagnosis 
1.      Anamnesis
·         Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut
·         Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong(non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman
·         Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti
·         Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang.
·         Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2.      Inspeksi
·         Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
·          Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
·         Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
3.      Palpasi
·         Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
·          Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
·         Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
·         Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4.      Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila DJJ terdengar biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari 1/3 bagian.
5.      Pemeriksaan dalam
·         Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
·          Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang
·         Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta
6.      Pemeriksaan umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi akan turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat dan kecil
7.      Pemeriksaan laboratorium
·         Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.
·          Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia
8.      Pemeriksaan plasenta.
Plasenta biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplacenter.
9.      Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain :Terlihat daerah terlepasnya plasenta, Janin dan kandung kemih ibu, Darah, Tepian plasenta
7.       Terapi
1)      Solusio plasenta ringan
Bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan. (2)
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan
2)      Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria
Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan. Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin.
Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah. Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria
Apoplexi uteroplacenta tidak merupakan indikasi histerektomi. Tetapi jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio sesaria maka histerektomi perlu dilakukan.

     F.   Plasenta Privea
1.              Definisi
 Plasenta previa adalah plasenta yang ada didepan jalan lahir, (prae: didepan; vias: jalan). Jadi yang dimaksud adalah plasenta yang implantasinya tidak normal ialah rendah sekali hingga menutupi seluruh atau sebagian osium internum. Implantasi plasenta yang normal ialah pada dinding depan atau dinding belakang rahim didaerah fundus uteri. (Obsterti Patologi, Edisi 1984).
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh osteum uteri internum. (2).
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya subnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi seluruh atau sebagian jalan lahir.
2.              Klasifikasi Plasenta Previa
                              Plasenta previa dibagi kedalam tiga bagian yaitu:
1.      Plasenta previa totalis: seluruh internum tertutup oleh plasenta.
2.       Plasenta previa lateralis: hanya sebagian dari ostium tetutup oleh plasenta.
3.      Plaseta previa marginalis: hanya pada pingir ostium terdapat jaringan plasenta. (Obsterti Patologi, Edisi 1984).
4.      plasenta letak rendah : berada pada segmen bawah rahim
Dari klasifiskasi tersebut yang sama sekali tidak dapat melahirkan pervaginam yaitu plasenta previa totalis seperti terdapat dalam gambar berikut :
jenis plasenta previa

3.      Etiologi
Belum diketahui pasti, frekuensi plasenta previa menigkat pada grade multi para. Primigravida tua. Bekas seksiosesarea, bekas aborsi, kelainan janin dan leiomioma uteri.
b.           Anamnesis: Perdarahan jalan lahir berwana merah segar tanpa rasa nyeri. Tanpa sebab terutama pada multi para.
c.           Pemeriksaan fisik
a)      Pemeriksaan luar, bagian tebawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul. Ada kelainan letak jain.
b)       Pemeriksaan inspekulo, perdarahan berasal dari usteum uteri eksternum.
d.          Penentun letak plasenta secara lansung baru dikerjakan jika fasilitas lain tidak ada dan dilakukan dalam keadaan siap operasi, disebut dalam pemeriksaan dalam meja operasi(PDMO), caranya sebagai berikut:
a)      Perabaan fornik, hanya bermakna jika janin persentasi kepala. Sambil mendorong sedikit kepala janin kearah pintu atas panggul. Perlahan-lahan raba seluruh forniks dengan jari. Perabaan lunak jika antara jari dan kepala terdapat plasenta.
b)      Pemeriksaan melalui kanalis servikalis, setelah pada perabaan forniks dicurigai adanya plasenta previa. Bila kanalis servikalis telah terbuka, perlahan-lahan masukan jari sekali-sekali berusaha menyusuri pinggir plasenta seterusnya karena mungkin plasenta akan terlepas dari inersinya.
4.              Komplikasi
a.       Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan plasentitis, dan endometritis pasca persalinan.
b.      Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti Asfiksi berat. ( Mansjoer, 2002).
5.               Gambaran Kinik
Pendarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa, perdarahan pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal. Perdarahan berikutnya hampir selalu banyak dari pada sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam. Sejak kehamilan 20 minggu segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat dari dinding uterus. Pada saat ini dimulai terjadi perdarahan darah berwarna merah segar.
Sumber perdarahan ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus perdarahan tidak dapat dihindari karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan, tidak sebagai serabut otot uterus untuk menghentikan perdarahan kala III dengan plasenta yang letaknya normal makin rendah letak plasenta makin dini perdarahan terjadi, oleh karena itu perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini dari pada plasenta letak rendah, yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai. ( Wiknjosostro, 1999 : 368 )
6.              Pemeriksaan diagnostic
1.      Anamnesis.Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.
2.      Pemeriksaan Luar. Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
3.        Pemeriksaan In Spekulo. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
4.       Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung. Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri. (Wiknjosostro, 2005)
5.      Pemeriksaan Ultrasonografi. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
6.      Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif.. Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menetukan diagnosis. (Saifudin, 2001)
7.                Penatalaksanaan
a.       Terapi ekopektif
1) Tujuan terapi ekopektif ialah supaya janin tidak terlahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servikalis. Upaya diagnosis dilakukan secara non-infansif pemantauan klinis dipantau secara ketat dan baik.
Syarat-syarat terapi ekopektif:
a.       Kehamilan preterm dan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti. Belum ada tanda-tanda inpartu.
b.      Keadaan umum ibu cukp baik.
c.        Janin masih hidup.
2)        Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotic profilaksis.
3)        Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui inplantasi plasenta, usia kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin.
4)        Berikan tokolitik jika ada kontaraksi.
b)       MgSO4 4 grm iv dosis awal dilanjutkan 4grm setiap 6 jam.
c)      Betametason 24 mg iv dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
Uji pematangan paru janin dengan tes kocok(bubble tes) dan hasil amniosentesis.
5)    Bila setelah usia kehamilan diatas 24 minggu, plasenta masuh berada disekitar ostium uteri internum, maka dugaan plasenta previa menjadi jelas, sehingga perlu dilakukan observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan keadaan gawat janin.
b.      Terapi aktif
1.      Wanita hamil diatas 2 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang maturnitas janin.
2.      Untuk diagnosis plasenta previa dan menetukan cara menyelesaikan persalinan, setelah semua persyaratan terpenuhi, lakukan PDMO jika:
a)      Infuse atau tranfusi telah terpasang, kamar dan tim operasi telah siap.
b)       Kehamilan ≥ 37 minggu (BB 2500 grm) dan inpartus
c)      Janin telah meniggal atau terdapat anomaly kongenital mayor (misal: anensefali).
d)     Perdarahan dengan bagian bawah janin telah jauh melewati pintu atas panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar).
Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa adalah:
1.      Seksio sesarea
a.       Prinsip utama dalam melakukan seksio sesarea adalah untuk menyelamatkan ibu, sehingga walaupun janin meninggal atau tidak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilaksanankan.
b.      Tujuan seksio sesarea.
Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat segera berkontraksi dan menghentikan perdarahan.
Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada serviks uteri, jika janin dilahirkan  pervaginam.
c.       Lakukan perawatan lanjut paska bedah termaksud pemantauan perdarahan, infeksi dan keseimbangan cairan masuk, keluar.




DAFTAR PUSTAKA
1)      Cunningham, F. Gary [et.al..]. 2005. Obstetri Williams. Jakarta : EGC
2)      Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP – SP
3)      Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS; 1997. 3-8
4)      Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga University Press, 2001; 456-
5)       Brudenell, Michael. 1996. Diabetes pada Kehamilan. Jakarta : EGC
6)      Gray, Huon H [et.al..]. 2009. Kardiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga
7)      Moechtar R. Pedarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279
8)       Chalik TMH. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika, 1997; 109-26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar